Sepatu bot yang meleleh dari es – pemandangan yang menarik perhatian fotografer dan pembuat film Jimmy Chin. Setelah mengamatinya dari dekat, Jimmy dan tim menemukan sisa-sisa kaki yang mereka yakini milik Andrew Comyn Irvine, yang dikenal sebagai Sandy, yang menghilang 100 tahun lalu bersama pendaki terkenal George Mallory.
“Saya angkat kaus kaki itu dan ada label merah dengan jahitan AC IRVINE di dalamnya,” kata Chin menggambarkan momen tersebut, dilansir National Geographic dalam artikel eksklusif.
Pada bulan September, di Gletser Rongbuk Tengah, di bawah sisi utara Gunung Everest, tim dokumenter National Geographic termasuk fotografer dan sutradara Jimmy Chin serta pembuat film dan pendaki Erich Roepke dan Mark Fisher, memeriksa sepatu bot tersebut.
100 tahun yang lalu, pada pagi hari tanggal 8 Juni 1924, Andrew Comyn Irvine, 22, dan George Mallory berangkat menuju puncak. Jenazah Mallory ditemukan pada tahun 1999, sedangkan Irvine tidak diketahui keberadaannya.
Namun, penemuan sepatu bot kini bisa memecahkan misteri di balik apa yang terjadi di puncak seabad lalu. Apakah keduanya berhasil mencapai puncak? Jika ya, mereka akan mendahului Edmund Hillary dan pendaki gunung Tibet Tenzing Norgay yang saat ini tercatat sebagai orang pertama yang mencapai puncak pada 29 Mei 1953.
“Ini adalah bukti nyata pertama di mana Sandy berakhir. Banyak teori yang dikemukakan di sana,” kata Chin tentang penemuannya.
Pada tahun 1999, ketika jenazah George Mallory ditemukan oleh pendaki gunung Conrad Anker, sebagai bagian dari Ekspedisi Penelitian Mallory dan Irvine, hal ini memberikan petunjuk tertentu, mengisyaratkan bahwa keduanya telah menyelesaikan puncak dan sedang turun ketika mereka terjatuh.
“Kacamata salju berwarna gelap (Mallory) ada di sakunya, yang menimbulkan spekulasi bahwa kejatuhan bisa saja terjadi pada malam hari saat keduanya turun. Foto istrinya yang rencananya akan ditinggalkan Mallory di puncak tidak ada bersamanya,” tulis Anker dalam The Lost Explorer yang ia tulis bersama David Roberts, seperti dikutip National Geographic.
Anggota keluarga secara sukarela membagikan sampel DNA untuk dibandingkan dengan jenazah guna mengonfirmasi identitas mereka, lapor National Geographic dalam sebuah artikel.