Awal bulan ini, pemerintah AS membunyikan peringatan atas dugaan upaya Rusia untuk memengaruhi pemilihan presiden mendatang melalui akun palsu yang menyebarkan propaganda dan disinformasi. Di AS, langkah tersebut dipahami sebagai strategi Rusia yang lebih luas untuk melemahkan demokrasi Amerika, dengan pejabat intelijen AS melabeli Moskow sebagai “ancaman utama bagi pemilu”.
Rusia Hadapi Tuduhan Sejak 2016
Moskow secara konsisten membantah tuduhan ini, dengan Presiden Vladimir Putin secara pribadi membantah klaim tersebut dalam berbagai wawancara dan konferensi pers. Bahkan Donald Trump membela Putin, seperti yang pernah ia katakan kepada wartawan, “Ia (Putin) mengatakan ia tidak ikut campur. Setiap kali ia melihat saya, ia berkata, ‘Saya tidak melakukan itu’, dan saya benar-benar percaya ketika ia mengatakan kepada saya bahwa ia bersungguh-sungguh.”
Kemunafikan Barat
Kremlin menuduh AS dan negara-negara Barat lainnya bersikap munafik, dengan mengutip banyak contoh selama beberapa dekade di mana Amerika dituduh mencampuri pemilu di banyak negara. Memang, Barat – khususnya AS – memiliki rekam jejak yang panjang dalam memengaruhi pemilu, mendukung kudeta militer, memberikan dukungan finansial terselubung, dan menyebarkan propaganda politik di negara-negara asing untuk memajukan kepentingan geopolitiknya sendiri. Sejarah panjang dugaan keterlibatan Badan Intelijen Pusat (CIA) dalam pemilu dan perubahan rezim di negara-negara lain terdokumentasi dengan baik, dengan banyak dokumen yang dideklasifikasi sebagai bukti.
Penelitian Prof. Dov H. Levin untuk Universitas Carnegie-Mellon melibatkan pengamatan terhadap campur tangan pemilu oleh AS dan Uni Soviet selama Perang Dingin. Ia mengklaim bahwa kedua negara tersebut terbukti telah ikut campur dalam 117 pemilu antara PD II dan 2000; AS terlibat dalam dua pertiganya. Menurutnya, pada masa yang lebih baru, 21 intervensi pemilu terjadi antara tahun 1990 dan 2000, yang 18 di antaranya dilakukan oleh AS. Dugaan campur tangan oleh Uni Soviet (yang kemudian menjadi Rusia) tetap diselimuti kerahasiaan, sementara AS lebih transparan dalam beberapa kasus.
Dokumen CIA yang telah dideklasifikasi tersebut menyoroti peran operasi AS dalam penggulingan pemerintahan Mohammed Mossadegh di Iran pada tahun 1953, Salvador Allende di Chili pada tahun 1973, dan, yang lebih baru, upayanya terhadap perubahan rezim di Venezuela serta di Ukraina pada tahun 2014, ketika pemerintahan Presiden pro-Rusia Viktor Yanukovych digulingkan.
Dalam contoh terbaru, Sheikh Hasina, setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 5 Agustus dan melarikan diri dari negara tersebut, menyatakan bahwa AS turut andil dalam kejatuhan politiknya. Ini bukan pertama kalinya dia membuat klaim seperti itu – pada tahun 2022, dia menuduh AS berusaha melemahkan kekuasaannya. Tuduhannya digaungkan oleh beberapa pemimpin non-Barat, yang menuduh AS dan negara-negara kuat lainnya, seperti Prancis dan Inggris, menggunakan pengaruh mereka untuk mengacaukan pemerintahan mereka.
Propaganda dan Berita PalsuTidak Ada yang Siap Menentang Dominasi Media Barat
Dalam perang informasi yang sedang berlangsung, Rusia tampaknya berada pada posisi yang kurang menguntungkan, dengan banyak pihak yang meyakini bahwa Rusia telah kalah atau pada akhirnya akan kalah. Perspektif ini berakar pada sejarah, karena media Barat secara konsisten mendominasi narasi, yang sering kali merugikan media-media regional.
Pertimbangkan contoh invasi Irak tahun 2003, di mana media Barat menyebarkan klaim yang sekarang terkenal bahwa Saddam Hussein memiliki Senjata Pemusnah Massal (WMD). Meskipun kurangnya bukti, narasi ini tetap ada, dan media regional, termasuk Al Jazeera Arabic (Al Jazeera English hadir pada tahun 2006), berjuang untuk melawan misinformasi tersebut.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Timur Tengah. Jurnalis investigasi Belanda Bette Dam, yang karyanya berfokus pada Afghanistan dan bagaimana media Barat melaporkan konflik tersebut, berpendapat bahwa media Barat sering kali mempromosikan perang dengan menyajikan cerita yang berat sebelah, dan gagal menyelidiki alasan yang mendasari konflik.
Selama Perang Dingin, media Barat memainkan peran penting dalam mempromosikan narasi yang sejalan dengan sikap antikomunis pemerintahnya. Media digunakan sebagai instrumen soft power, yang dirancang untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi liberal dan menampilkan blok Soviet sebagai musuh ideologis. Strategi-strategi ini diakui secara terbuka oleh pemerintah, dan sering kali dibenarkan sebagai hal yang diperlukan untuk melawan disinformasi Soviet.
Aliran Barat-Timur
(Syed Zubair Ahmed adalah jurnalis senior India yang tinggal di London dan memiliki pengalaman tiga dekade di media Barat)
Disclaimer: Ini adalah pendapat pribadi penulis
Menunggu respons untuk dimuat…